pedamping-desa.com-penghentian tenaga pendamping profesional (TPP) Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) karena maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg) 2024, terus bergulir kencang.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI Syaiful Huda, misalnya, mengkritik keras keputusan Kemendes PDT tersebut.
Menurut dia, alasan penghentian TPP di lingkungan Kemendes PDT karena faktor pencalegan cenderung dibuat-buat. Tidak ada aturan yang melarang TPP sebagai tenaga profesional maju menggunakan hak untuk dipilih dan memilih.
Ia menilai, pengelolaan TPP di kementerian/lembaga (K/L), termasuk Kemendes PDT, harus berdasarkan key performance indicator (KPI) yang jelas.
Selain itu, dari semua aspek legal formal, dilihat dari kronologinya, tidak ada aturan hukum yang dilanggar oleh TPP yang maju sebagai caleg, juga tidak ada sengketa Pemilu yang dipicu oleh TPP.
Begitu pula tidak ada teguran Bawaslu maupun KPU terkait dugaan pelanggaran oleh TPP saat maju caleg.
Karena itulah, bagi saya, polemik penghentian TPP di lingkungan Kemendes PDT ini menarik untuk diikuti.
Pertama, persoalan ini penting lantaran berkaitan dengan hajat hidup ribuan orang pekerja di lingkungan Kemendes PDT.
Jika keputusan itu dilaksanakan, maka akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara ‘berjamaah’ yang eksesnya bisa menimbulkan masalah sosial.
Di tengah maraknya gelombang PHK saat ini, penghentian TPP di lingkungan Kemendes PDT tentu kontraproduktif.
Kedua, penghentian TPP di lingkungan Kemendes PDT secara massal bisa mendatangkan citra kurang baik pada pemerintahan Prabowo-Gibran. Apalagi jika para pendamping profesional yang di PHK tersebut melakukan aksi protes dan demo.
Aksi demo para pegawai akibat dipecat di lingkungan Kemendiktisaintek yang sempat viral beberapa waktu lalu, misalnya, harus menjadi pembelajaran penting supaya peristiwa sama tidak terulang kembali.
Ketiga, perlu kiranya persoalan ini dilihat secara jernih dari aspek legal standing-nya. Sebab, tanpa melihat legal standing-nya, kita akan terjebak pada asumsi-asumsi subjektif.
Awal mula polemik
Sebenarnya, polemik ini muncul ketika BPSDM Kemendesa PDT RI mengeluarkan Surat Perintah Kerja (SPK) yang di dalamnya terdapat lampiran surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh TPP.
Di poin 2 berbunyi “apabila di kemudian hari saya terbukti pernah mencalonkan diri sebagai Caleg DPR RI/DPRD Prov/DPRD Kab/Kota dan DPD tanpa didahului dengan pengunduran diri atau mengajukan cuti, maka saya siap diberhentikan secara sepihak oleh pihak kementerian”.
Klausul itulah yang kemudian menimbulkan polemik karena TPP yang pernah maju sebagai caleg pada Pileg 2024, secara otomatis tidak berhak untuk dikontrak kembali, alias berhenti.
Padahal, sebelumnya Kemendes PDTT melalui surat No 1261/HKM.10/VI/2023 menyatakan bahwa tidak ada pengaturan, baik di tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri maupun keputusan menteri yang menyatakan bahwa TPP harus mundur ketika yang bersangkutan menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten atau kota.
Alasannya tentu karena rekrutmen maupun perpanjangan kontrak TPP dilakukan melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa. Sehingga, TPP tidak berstatus sebagai pegawai atau karyawan Kemendes.
Tidak hanya itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dengan merujuk surat dari Kemendesa PDTT RI, juga mengeluarkan surat edaran kepada seluruh KPU Provinsi/Kab/Kota dengan nomor 740/PL.01.4-SD/05/2023 yang isinya menyatakan bahwa caleg yang berprofesi sebagai TPP tidak diwajibkan mundur atau cuti dari pekerjaannya.
Surat-surat keputusan itulah yang kemudian menjadi legal standing bagi TPP untuk maju pada Pileg 2024 tanpa harus mengundurkan diri atau mengajukan cuti.
Karenanya, kita perlu berimbang dalam melihat persoalan ini. Memang harus diakui, keinginan Kemendesa PDT menerapkan norma baru bahwa TPP tidak boleh maju sebagai caleg, itu sah-sah saja dan bisa dimaklumi sebagai kebijakan baru.
Namun, tentu saja jika kebijakan itu diterapkan, maka berlakunya harus ke depan, bukan ke belakang. Sebab, pencalegan TPP di Pileg 2024 sudah sesuai dengan UU Pemilu dan konstitusional serta berlandaskan Permen dan PKPU.
Memberhentikan TPP yang pernah maju sebagai caleg di 2024 bisa mendatangkan implikasi baru.
Selain akan menambah daftar pengangguran di Indonesia, juga bisa dianggap berlaku tidak adil karena seakan memberi sanksi pada warga negara yang telah melaksanakan hak konstitusionalnya.
Sebab itu, langkah-langkah persuasif dan dialogis, dengan mengedepankan asas kekeluargaan dan kemaslahatan, perlu dilakukan dalam mengurai polemik ini. Semua harus duduk bareng untuk mencari jalan tengah atas persoalan ini.
Di tengah tantangan besar pemerintahan Prabowo-Gibran seperti program populis Makan Bergizi Gratis (MBG) dan target pertumbuhan ekonomi 8 persen semua komponen pemerintah perlu bersatu padu.
Berbagai polemik perlu segera diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya, biar tidak menggangu jalannya pemerintahan yang saat ini sedang tancap gas.
Tags:
KABAR DESA